Minggu, 25 November 2012

Kebaikan itu Indah

          Aku terbangun dari tidurku. Dengan segera aku menyambar handukku dan menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku bersiap untuk bersekolah. Sebelum itu, aku segera menuju ruang makan dan menyambar sebuah roti. Kulapisinya dengan selai kacang. Nyam… enak…

  “Bu, aku berangkat dulu ya… keburu terlambat, nih”, kataku seraya berpamitan.
  "Ya. Hati-hati di jalan. Jangan bergurau dan di jalan”, kata ibu memperingatkanku.
  “Baik, Bu”.                                                                                                   
          Aku pun menyambar sepeda biruku yang terparkir di garasi. Sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolah, aku menghampiri Dina yang rumahnya terletak di kompleks sebelah.
  “Assalamu’alaikum”, kataku memberi salam
  “Waalaikumsalam. Kamu, Din? Bentar, ya”, balas Dina.
          Memang nama kami hampir mirip. Tapi, bukan berarti aku dan Dina kembar. Tetapi kami hanyalah sepasang sahabat karib. Setelah Dina mengambil sepedanya, kami pun berangkat. Di tengah perjalan kami berbincang-bincang tentang nilai UTS kami. Memang sekolah kami baru saja mengadakan UTS. Kami tidak sabar menanti nilai yang akan dibagikan.
          Tak berapa lama kemudian, kami pun sampai di gerbang sekolah. Kami menuruni sepeda kami dan mulai menuntunnya. Baru saja melewati gerbang, bel tanda masuk berbunyi. Kami segera memarkir sepeda kami di tempat parkir siswa dan segera menuju kelas. Saat memasuki kelas, suasana kelas sangat ramai. Semua begurau sendiri-sendiri. Sampai akhirnya Pak Burhan datang. Pak Burhan adalah guru matematika sekaligus wali kelas kami. Kelas pun menjadi tenang.
  “Selamat pagi, Anak-anak”, sapa Pak Burhan.
  “Selamat pagi, Pak”, balas murid kelas 7C.
          Pak Burhan terlihat sedang menyiapkan beberapa kertas. Kelihatannya beliau akan membagikan hasil ulangan. Ternyata benar. Pak Burhan memanggili nama-nama murid satu-persatu. Tak berapa lama kemudian namaku dipanggil.
  “Andini”, seru Pak Burhan
          Aku segera mengambil kertas ulanganku.
  “Selamat. Kamu mendapat nilai tertinggi”, kata Pak Burhan lagi memberi selamat.
          Aku senang sekali. Terlihat nilai 90 berwarna hitam di kertasku. Dengan segera aku kembali ke bangkuku. Setelah Pak Burhan menjelaskan beberapa materi, bel istirahat berbunyi. Wuss… semua murid berhamburan keluar kelas. Aku dan Dina berjalan menuju kantin. Krucuk…krucuk… perutku terasa lapar sekali. Aku membeli nasi goreng, sedangkan Dina membeli bakso. Kami pun menikmati makanan kami masing-masing.
          Bel masuk pun berbunyi. Semua murid masuk ke dalam kelas masing-masing. Tiba-tiba Pak Burhan masuk ke dalam kelas kami. Kami semua saling bertatap mata. Bertanya-tanya mengapa Pak Burhan ke kelas 7C.
  “Pasti kalian bertanya mengapa saya menuju kelas kalian? Saya akan menyampaikan sebuah pengumuman”, katanya.
  “Karena hari ini guru-guru ada rapat mendadak, kalian di pulangkan sekarang. Dan juga, tolong sampaikan surat ini kepada orang tua kalian”, lanjut Pak Burhan yang di lanjutkan dengan membagi selembar kertas.
          Kami semua pun segera keluar dari kelas.  Aku dan Dina menyambar sepeda kami dan segera menumpanginya. BRUK…. terlihat seorang nenek terjatuh karena tertabrak sepeda motor. Aku pun segera menghentikan laju sepedaku. Dina pun mengikutinya. Kami berdua membantu nenek itu.
  “Nenek tidak apa-apa?”,tanyaku.
  “Nenek tidak apa-apa hanya kaki nenek sedikit sakit”, jawab nenek itu.
          Aku dan Dina saling bartatap mata.
  “Maaf, Nek. Kami hanya bisa membantu sampai disini. Kami akan panggilkan seseorang untuk membantu nenek”, kataku.
  “Tidak usah, Nak. Kalian sudah baik hati mau menolong nenek. Nenek bisa jalan sendiri kok. Sekarang kalian pulanglah! Jangan lupa, kalian harus selalu berbuat baik kepada orang lain, insya alloh kebaikanmu akan dibalas oleh Alloh”, kata nenek itu.  Kami hanya mengangguk dan berkata, Amiin…
          Kami pun menunggangi sepeda kami lagi dan melanjutkan perjalanan. Sampai di rumah, aku merebahkan diriku di atas ranjang tidurku. Aku pun tertidur lelap karena saking lelahnya.
    
6 tahun kemudian…..
  Tok…tok…tok… Terdengar suara seseorang yang mengetuk pintuk kamarku. Saat kubuka, ternyata itu ibu kos yang biasa di panggil Tante Ina. Aku sudah tau tujuan beliau datang kemari.
  “Maaf, Te. Saya masih belum punya uang untuk bayar kos. Saya baru dapat uang sedikit. Sementara, orangtua saya juga belum mengirimkan saya uang. Di rekening saya juga tidak ada uang”, kataku memelas.
  “Halah! Kamu itu terlalu banyak alasan! Kamu itu mahasiswa! Harusnya kamu bisa mencari uang sendiri! Saya tidak mau tau, kalu besok kamu tidak bayar, silahkan angkat kaki dari sini!”, kata Tante Ina. Aku hanya menunduk.
          Tiba-tiba ada seorang wanita datang ke tempatku.
  “Apa kau ada masalah?”, tanyanya. Aku hanya diam saja.
          Aku segera masuk kamar dan menutup pintu kamarku. Dia terlihat bingung dan sedih. Akhirnya, dia meninngalkan kamarku dan pergi menuju kamar Sofi(teman kos Dini). Aku tidak mempedulikan dia. Aku melihat sebuah celengan berbentuk ayam(celengan Dini sejak kecil). Aku segera menyambar celengan itu. Dia segera membanting celengan itu. Uang yang ada di dalamnya jadi jatuh dan berserakan dimnana-mana.
  “sepuluh, sebelas, dua belas….”, kataku sambil menghitung jumlah uang yang terjatuh karena pecahnya celengan itu.
  “Hhh… ini nggak cukup untuk bayar semua ini….”, kataku sambil menitikkan air mata.
          Aku bingung harus berbuat apa? Aku mencoba menelpon ibu yang ada di rumah. Tapi tidak ada jawaban. Aku semakin bingung lagi ketika Tante Ina kembali mendatangiku.
  “Ada telpon untukmu!”, katanya sambil memberikan sebuah handphone kepadaku.
  “Halo, assalamu’alaikum”, sapaku.
  “Waalaikum salam. Dini, ini ibu. Maafkan ibu karena akhir-akhir ini ibu tidak memberimu uang untuk kebutuhanmu disana. Karena saat ini adikmu sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Jadi, tidak biaya untuk kamu. Maafkan ibu ya…”, kata ibu sambil menangis.
  “Tidak apa-apa, Bu. Lagipula sekarang aku bekerja sambilan. Jadi, sambil kuliah juga kerja buat nambah uang. Kalau ibu memang butuh uang, aku akan kesana buat nganter uang sekaligus njenguk adik..”,, kataku.
          Tiba-tiba Tante Ina berkata.
  “Halah! Bayar kos aja belum, kok kamu mau bayar pengobatan adik kamu!”, katanya judes.
          Mendengar itu, aku semakin merasa bersalah pada ibu. Aku merasa kalau aku terlalu bayak merepotkan ibu.
  “Ada apa, Din? Kok melamun? Oh, ya. Kamu nggak usak ngirim uang ibu hany ingin do’amu saja. Kalau begitu sudah dulu, ya. Assalamu’alaikum”, kata ibu.
  “Waalaikumsalam”, balasku.
          Aku segera memberikanhandphone itu kepada Tante Ina. Dia pun segera pergi. Aku menutup pintu dengan perlahan. Kulihat jam dinding yang terletak di dinding sebelah meja. Jam itu menunjukkan pukul 02.45 P.M. Aku pun segera mengambil baju dan handukku. Aku berlari menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku kembali ke kamar. Menyambar tasku dan pergi meninngalkan kamar dengan mengunci pintunya. Tiba-tiba seseorang memanggilku.
  “Dini!”, katanya.
          Aku menengok ke arahnya. Aku pun melanjutkan perjalanan. Dia mengejarku dan memanggilku lagi.
  “Dini! Kenapa kamu malah lari?”, katanya sambil mencengkram tanganku.
  “Memang apa urusanmu?!”, kataku membentaknya.
  “Sebelum kau berangkat untuk kuliah, aku ingin membantumu. Sekarang, kau ikut aku”, katanya.
          Aku pun ikut dengannya. Dia mengajakku menuju sebuah rumah yang sekiranya tidak jauh dari kos. Aku pun memasuki rumah itu. Rumah itu tidak terlalu besar, lantainya hanya beralaskan semen, Atapnya juga ada yang bocor. Saat dia sibuk mencari sesuatu, aku melihat sebuah bingkaifoto yang sepertinya kukenali.
  “Hhmm… maaf, siapa namamu? Ini… foto siapa ya?”, tanyaku dengan gugup.
  “Oh, ya. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Tira. Ini adalah foto nenekku. Apa kau mengenalnya?”, tanyanya.
  “Sepertinya aku kenal dengan nenekmu. Waktu itu aku menolong seorang nenek tua yang terjatuh karena tertabrak motor. Tapi apa benar dia?”, balasku.
  “Apa?! Jadi kau yang menolong nenek?! Karena kebaikan hatimu, ada sesuatu yang harus aku berikan padamu”, katanya.
          Dia pun pergi menuju sebuah kamar. Lalu, dia kembali dengan membawa sebuah amplop.
  “Ini untukmu”, katanya sambil memberikan amplop itu.
  “Apa ini?”, tanyaku.
  “Ini balasan dari keluarga kami. Nenek juga menyuruh kami memberikan ini padamu sebagai tanda terima kasih”, balasnya.
          Aku membukanya dengan ragu-ragu. Terlihat Banyak sekali lembaran uang seratus ribu. Kalau dihitung-hitung kira-kira ada sekitar lima juta rupiah. Aku bersujud syukur.
  “Terima kasih banyak”, kataku sambil menitikkan air mata.
          Akhirnya aku bisa membayar biaya kos dan berobat adikku. Ternyata benar kata neneknya Tira. Jangan lupa, kalian harus selalu berbuat baik kepada orang lain, insya alloh kebaikanmu akan dibalas oleh Alloh.