Jumat, 30 Desember 2016

Melihat Sekitar

Haii, Selamat datang di blogku!! 
Sudah lama banget aku nggak ngepost lagi di blog ini. Bahkan sudah sekitar 4 tahun. Aku berniat untuk nulis lagi disini. Dengan menghapus beberapa postingan yang menurutku sudah nggak layak..
Oke, aku mau nyeritain satu pengalaman yang baru-baru ini terjadi di sekitarku.

Hari itu aku sedang beniat untuk pergi bersama teman-temanku. Kami akan pergi ke sebuah bioskop untuk nonton film. Hari itu hari Jumat, tepat tanggal 30 Desember. Aku berangkat dengan menggunakan angkot. Sebenarnya tak susah untuk menemukan angkot dengan tujuan ke bioskop. Namun aku menunggu disana lumayan lama. Bukan karena tidak ada angkot yang lewat, namun ada sebuah insiden di sana.

Aku mencoba mendekat. Ditikungan temapat aku menunggu angkot, banyak orang bergerombol dan beberapa sepeda motor terparkir di sana. Nampaknya beberapa waktu lalu terjadi sebuah tabrakan motor. Ada dua pihak. Salah satu motor ditumpangi oleh sekeluarga (ada ayah, ibu , dan kedua anak mereka). Satu lagi dua orang wanita yang mungkin masih berumuran 20 tahun. Motor yang ditumpangi sekeluarga itu nampak rusak di bagian depan. di dekat lampu dan spion. motor yang satu lagi nampak baik-baik saja. namun barang bawaanya sedikit berantakan (mereka membawa beberapa kotak berisi makanan berkuah). 

Pria paruh baya yang merupakan ayah dari dua anak tersebut duduk dipinggir jalan sambil menyelonjorkan kakinya. sedangkan istrinya, ada luka di punggung kakinya. Dan salah satu anaknya pun terdapat luka di tangan (berdasarkan yang aku lihat). 

Beberapa warga sekitar mencoba membantu keluarga yang terluka tersebut. Beberapa dari mereka mengambilkan air dan plester untuk luka mereka. Beberapa dari mereka juga memarahi dua wanita muda itu. Mereka semua saling menyalahkan. Merasa benar dan yang lain salah. Karena aku datang di saat sudah terjadi kejadian, aku tidak tahu pasti kronoligisnya. Namun ada sikap dari dua wanita itu yang sedikit mengusik. Mereka menampakkan wajah yang kurang bersahabat. wajah yang acuh. Terlepas dari mereka salah atau tidak, melihat seseorang yang terluka setidaknya merasa ringan tangan membantu yang terluka. Namun mereka malah meninggalkan tempat dengan acuh. Terlebih yang terluka orang yang lebih tua dan ada anak kecil disana. 

Secuplik kejadian yang kulihat dihari itu membuat sejenak berpikir. 
Menghilangkan ego kita untuk melihat sebelah kita. Memastikan mereka baik-baik saja atau terluka. Disengaja atau tidak, Salah kita atau bukan, Bahkan jika kita bersalah, bertanggung jawab dan bantulah mereka. Tiada guna saling menyalahkan dan menambah musuh di dunia yang makin banyak perseteruan ini.


see ya next time...


HAPPY NEW YEAR 2017 !!!!

Minggu, 25 November 2012

Kebaikan itu Indah

          Aku terbangun dari tidurku. Dengan segera aku menyambar handukku dan menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku bersiap untuk bersekolah. Sebelum itu, aku segera menuju ruang makan dan menyambar sebuah roti. Kulapisinya dengan selai kacang. Nyam… enak…

  “Bu, aku berangkat dulu ya… keburu terlambat, nih”, kataku seraya berpamitan.
  "Ya. Hati-hati di jalan. Jangan bergurau dan di jalan”, kata ibu memperingatkanku.
  “Baik, Bu”.                                                                                                   
          Aku pun menyambar sepeda biruku yang terparkir di garasi. Sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolah, aku menghampiri Dina yang rumahnya terletak di kompleks sebelah.
  “Assalamu’alaikum”, kataku memberi salam
  “Waalaikumsalam. Kamu, Din? Bentar, ya”, balas Dina.
          Memang nama kami hampir mirip. Tapi, bukan berarti aku dan Dina kembar. Tetapi kami hanyalah sepasang sahabat karib. Setelah Dina mengambil sepedanya, kami pun berangkat. Di tengah perjalan kami berbincang-bincang tentang nilai UTS kami. Memang sekolah kami baru saja mengadakan UTS. Kami tidak sabar menanti nilai yang akan dibagikan.
          Tak berapa lama kemudian, kami pun sampai di gerbang sekolah. Kami menuruni sepeda kami dan mulai menuntunnya. Baru saja melewati gerbang, bel tanda masuk berbunyi. Kami segera memarkir sepeda kami di tempat parkir siswa dan segera menuju kelas. Saat memasuki kelas, suasana kelas sangat ramai. Semua begurau sendiri-sendiri. Sampai akhirnya Pak Burhan datang. Pak Burhan adalah guru matematika sekaligus wali kelas kami. Kelas pun menjadi tenang.
  “Selamat pagi, Anak-anak”, sapa Pak Burhan.
  “Selamat pagi, Pak”, balas murid kelas 7C.
          Pak Burhan terlihat sedang menyiapkan beberapa kertas. Kelihatannya beliau akan membagikan hasil ulangan. Ternyata benar. Pak Burhan memanggili nama-nama murid satu-persatu. Tak berapa lama kemudian namaku dipanggil.
  “Andini”, seru Pak Burhan
          Aku segera mengambil kertas ulanganku.
  “Selamat. Kamu mendapat nilai tertinggi”, kata Pak Burhan lagi memberi selamat.
          Aku senang sekali. Terlihat nilai 90 berwarna hitam di kertasku. Dengan segera aku kembali ke bangkuku. Setelah Pak Burhan menjelaskan beberapa materi, bel istirahat berbunyi. Wuss… semua murid berhamburan keluar kelas. Aku dan Dina berjalan menuju kantin. Krucuk…krucuk… perutku terasa lapar sekali. Aku membeli nasi goreng, sedangkan Dina membeli bakso. Kami pun menikmati makanan kami masing-masing.
          Bel masuk pun berbunyi. Semua murid masuk ke dalam kelas masing-masing. Tiba-tiba Pak Burhan masuk ke dalam kelas kami. Kami semua saling bertatap mata. Bertanya-tanya mengapa Pak Burhan ke kelas 7C.
  “Pasti kalian bertanya mengapa saya menuju kelas kalian? Saya akan menyampaikan sebuah pengumuman”, katanya.
  “Karena hari ini guru-guru ada rapat mendadak, kalian di pulangkan sekarang. Dan juga, tolong sampaikan surat ini kepada orang tua kalian”, lanjut Pak Burhan yang di lanjutkan dengan membagi selembar kertas.
          Kami semua pun segera keluar dari kelas.  Aku dan Dina menyambar sepeda kami dan segera menumpanginya. BRUK…. terlihat seorang nenek terjatuh karena tertabrak sepeda motor. Aku pun segera menghentikan laju sepedaku. Dina pun mengikutinya. Kami berdua membantu nenek itu.
  “Nenek tidak apa-apa?”,tanyaku.
  “Nenek tidak apa-apa hanya kaki nenek sedikit sakit”, jawab nenek itu.
          Aku dan Dina saling bartatap mata.
  “Maaf, Nek. Kami hanya bisa membantu sampai disini. Kami akan panggilkan seseorang untuk membantu nenek”, kataku.
  “Tidak usah, Nak. Kalian sudah baik hati mau menolong nenek. Nenek bisa jalan sendiri kok. Sekarang kalian pulanglah! Jangan lupa, kalian harus selalu berbuat baik kepada orang lain, insya alloh kebaikanmu akan dibalas oleh Alloh”, kata nenek itu.  Kami hanya mengangguk dan berkata, Amiin…
          Kami pun menunggangi sepeda kami lagi dan melanjutkan perjalanan. Sampai di rumah, aku merebahkan diriku di atas ranjang tidurku. Aku pun tertidur lelap karena saking lelahnya.
    
6 tahun kemudian…..
  Tok…tok…tok… Terdengar suara seseorang yang mengetuk pintuk kamarku. Saat kubuka, ternyata itu ibu kos yang biasa di panggil Tante Ina. Aku sudah tau tujuan beliau datang kemari.
  “Maaf, Te. Saya masih belum punya uang untuk bayar kos. Saya baru dapat uang sedikit. Sementara, orangtua saya juga belum mengirimkan saya uang. Di rekening saya juga tidak ada uang”, kataku memelas.
  “Halah! Kamu itu terlalu banyak alasan! Kamu itu mahasiswa! Harusnya kamu bisa mencari uang sendiri! Saya tidak mau tau, kalu besok kamu tidak bayar, silahkan angkat kaki dari sini!”, kata Tante Ina. Aku hanya menunduk.
          Tiba-tiba ada seorang wanita datang ke tempatku.
  “Apa kau ada masalah?”, tanyanya. Aku hanya diam saja.
          Aku segera masuk kamar dan menutup pintu kamarku. Dia terlihat bingung dan sedih. Akhirnya, dia meninngalkan kamarku dan pergi menuju kamar Sofi(teman kos Dini). Aku tidak mempedulikan dia. Aku melihat sebuah celengan berbentuk ayam(celengan Dini sejak kecil). Aku segera menyambar celengan itu. Dia segera membanting celengan itu. Uang yang ada di dalamnya jadi jatuh dan berserakan dimnana-mana.
  “sepuluh, sebelas, dua belas….”, kataku sambil menghitung jumlah uang yang terjatuh karena pecahnya celengan itu.
  “Hhh… ini nggak cukup untuk bayar semua ini….”, kataku sambil menitikkan air mata.
          Aku bingung harus berbuat apa? Aku mencoba menelpon ibu yang ada di rumah. Tapi tidak ada jawaban. Aku semakin bingung lagi ketika Tante Ina kembali mendatangiku.
  “Ada telpon untukmu!”, katanya sambil memberikan sebuah handphone kepadaku.
  “Halo, assalamu’alaikum”, sapaku.
  “Waalaikum salam. Dini, ini ibu. Maafkan ibu karena akhir-akhir ini ibu tidak memberimu uang untuk kebutuhanmu disana. Karena saat ini adikmu sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Jadi, tidak biaya untuk kamu. Maafkan ibu ya…”, kata ibu sambil menangis.
  “Tidak apa-apa, Bu. Lagipula sekarang aku bekerja sambilan. Jadi, sambil kuliah juga kerja buat nambah uang. Kalau ibu memang butuh uang, aku akan kesana buat nganter uang sekaligus njenguk adik..”,, kataku.
          Tiba-tiba Tante Ina berkata.
  “Halah! Bayar kos aja belum, kok kamu mau bayar pengobatan adik kamu!”, katanya judes.
          Mendengar itu, aku semakin merasa bersalah pada ibu. Aku merasa kalau aku terlalu bayak merepotkan ibu.
  “Ada apa, Din? Kok melamun? Oh, ya. Kamu nggak usak ngirim uang ibu hany ingin do’amu saja. Kalau begitu sudah dulu, ya. Assalamu’alaikum”, kata ibu.
  “Waalaikumsalam”, balasku.
          Aku segera memberikanhandphone itu kepada Tante Ina. Dia pun segera pergi. Aku menutup pintu dengan perlahan. Kulihat jam dinding yang terletak di dinding sebelah meja. Jam itu menunjukkan pukul 02.45 P.M. Aku pun segera mengambil baju dan handukku. Aku berlari menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku kembali ke kamar. Menyambar tasku dan pergi meninngalkan kamar dengan mengunci pintunya. Tiba-tiba seseorang memanggilku.
  “Dini!”, katanya.
          Aku menengok ke arahnya. Aku pun melanjutkan perjalanan. Dia mengejarku dan memanggilku lagi.
  “Dini! Kenapa kamu malah lari?”, katanya sambil mencengkram tanganku.
  “Memang apa urusanmu?!”, kataku membentaknya.
  “Sebelum kau berangkat untuk kuliah, aku ingin membantumu. Sekarang, kau ikut aku”, katanya.
          Aku pun ikut dengannya. Dia mengajakku menuju sebuah rumah yang sekiranya tidak jauh dari kos. Aku pun memasuki rumah itu. Rumah itu tidak terlalu besar, lantainya hanya beralaskan semen, Atapnya juga ada yang bocor. Saat dia sibuk mencari sesuatu, aku melihat sebuah bingkaifoto yang sepertinya kukenali.
  “Hhmm… maaf, siapa namamu? Ini… foto siapa ya?”, tanyaku dengan gugup.
  “Oh, ya. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Tira. Ini adalah foto nenekku. Apa kau mengenalnya?”, tanyanya.
  “Sepertinya aku kenal dengan nenekmu. Waktu itu aku menolong seorang nenek tua yang terjatuh karena tertabrak motor. Tapi apa benar dia?”, balasku.
  “Apa?! Jadi kau yang menolong nenek?! Karena kebaikan hatimu, ada sesuatu yang harus aku berikan padamu”, katanya.
          Dia pun pergi menuju sebuah kamar. Lalu, dia kembali dengan membawa sebuah amplop.
  “Ini untukmu”, katanya sambil memberikan amplop itu.
  “Apa ini?”, tanyaku.
  “Ini balasan dari keluarga kami. Nenek juga menyuruh kami memberikan ini padamu sebagai tanda terima kasih”, balasnya.
          Aku membukanya dengan ragu-ragu. Terlihat Banyak sekali lembaran uang seratus ribu. Kalau dihitung-hitung kira-kira ada sekitar lima juta rupiah. Aku bersujud syukur.
  “Terima kasih banyak”, kataku sambil menitikkan air mata.
          Akhirnya aku bisa membayar biaya kos dan berobat adikku. Ternyata benar kata neneknya Tira. Jangan lupa, kalian harus selalu berbuat baik kepada orang lain, insya alloh kebaikanmu akan dibalas oleh Alloh.

Selasa, 31 Juli 2012

Pardon Me part.2

        Desi pun menghampiri Rara.
"Bukankah kita sudah membicarakannya kemarin? Harusnya kamu kan bilang 'iya' ke Dina!"bentak Desi.
"Denger ya! yang mutusin bilang 'iya' atau 'nggak' itu aku! Kan aku juga butuh waktu!"balas Rara dengan wajah yang mulai memerah.
        Rara pun meninggalkan Desi sendirian. Bel masuk pun berbunyi. kini, saatnya persiapan untuk pulang. Saat Desi dan Rani menghampiri Dina, wajahnya tampak pucat.
  "Dina, mengapa wajahmu pucat begitu?! apa kamu sakit? Sebaiknya kamu ke UKS saja", kata Rani.
  "Aku nggak apa-apa kok". Rani hanya terdiam. Tanpa sadar Dina telah meninggalkannya.
        Saat bel pulang hanya Dina yang masih duduk di bangkunya. Tiba-tiba, BRUAK!! Desi dan Rani yang masih berada di depan mintu begitu kaget dan segera meminta tolong kepada Bu Andin yang kebetulan ada di sekitar situ untuk membawa Dina ke UKS. Guru kesehatan pun memeriksanya.
       Beberapa saat kemudian, Tante Mira datang ke sekolah. Menurut guru kesehatan, Dina terserang demam karena kelelahan. Tante Mira pun membawa Dina pulang. Rani dan Desi tentu juga pulang ke rumah mereka masing-masing.
       Esoknya, Rara menghampiri Desi. dan bertanya.
  "Dimana Dina? Apa dia tidak mau mendengar penjelasanku?" katanya. Desi hanya diam saja. Mukanya memerah.
  "WOI!! Punya telinga gak sih?! Aku tanyanya serius nih!!". Desi mendekati Rara.
  "INI SEMUA SALAHMU!!! Kalau kau tidak menolaknya, dia tidak akan seperti ini!!" kata Desi membentak. Dia mendoro Rara hingga jatuh.
       Desi meninggalkan Rara sendirain. Rani pun menghampiri Rara. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Rara berdiri.
  "Nggak perlu! Aku bisa sendiri kok!" kata Rara dengan nada meremehkan.
  "Ditolongin malah gak mau! Kenapa sih kamu gak mau terima tawarannya Dina?! Liat apa yang terjadi?! Dia jadi demam tinggi semalam!".
  "gengsi dong! Lagi pula kenapa loe yang sewot!"
  "Aku cuma nggak mau liat temenku susah kayak gitu! Jadi aku mohon...." kata Rani memohon. Rara hanya terdiam dan meninggalkan Rani.
       Sore harinya, Desi dan Rani pergi ke rumah Dina untuk menujenguk temannya itu. Setelah sampai, mereka menemui Dina belum sadar dan terus mengigau.
  "Lebih baik kita pulang saja. Besok kita kesini lagi. OK?!" tanya Rani. Desi hanya mengangguk.
       Esoknya, setelah pulang sekolah Desi dan Rani kembali untuk menjenguk Dina. Ternyata, demamnya belum juga turun malah semakin parah. Akhirnya Rani punya ide untuk semua ini. Dia pergi ke rumah Rara dan menyuruhnya pergi ke rumah Dina.
  "Apaan sih?! Denger ya?! Semua ini adalah keputusanku! Jadi kalau aku ingin bertindak apapun itu terserah aku!" bentak Rara.
  "Apa kau tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang?! Karna kamu yang buat dia sakit, cepatlah datang kesana!". Rara menyerah dan mengikuti Rani. Sebenarnya dia sangat benci sekali melakukan hal ini. Tapi.. mau bagaimana lagi?
       Saat di jalan menuju rumah Dina tiba-tiba saja Rani mendapat telepon dari Desi.
  "Halo, Des! Ada apa?" tanya Rani.
  "Gawat, Ran! Sekarang Dina sedang dilarikan ke rumah sakit karna dia mulai merasakan sesak!"
  "APA?! Di rumah sakit mana?! TUNGGU! Kita akan segera menyusul!" kata Rani dengan penuh kebingungan.
  "Dia ada di Rumah Sakit Metropolitan".  Tiba-tiba saja teleponnya terputus.
       Rani segera menarik Rara dan berhenti di depan rumah sakit itu. Untung saja rumah sakit itu dekat.
  "Ngapain kita kesini?! Aku benci Rumah sakit! kau tahu itu kan?!" kata Rara dengan nada membentak.
  "Kamu tuh ya! aku harus bilang berapa kali sih! Dina itu sakit gara-gara kamu! sekarang kamu malah tanya lagi kenapa kita kesini?!" kta Rani membentak.
       Rani tak mempedulikan Rara lagi. Dia pergi ke tempat informasi.
  "Suster, kamarnya Dina Aura Setiadewi dimana ya?"
  "Di ruang IGD"
  "Makasih mbak"
       Rani menarik Rara dan berlari menuju ruang IGD. Disana mereka menjumpai Tante Mira dan Desi. Rara hanya berpaling muka dari mereka.
  "Tante, bagaimana keadaan Dina? Apa dia baik-baik saja?" tanya Rani. Wajah Tante Mira mendadak begitu muram dan sangat sedih. Sepertinya sesuatu yang gawat akan dialami Dina.
       Beberapa menit kemudian, Dokter keluar dari ruang IGD.
  "Dok, bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Tante Mira cemas.
  "Sepertinya kita harus membicarakan di ruang saya saja". Tante Mira mengangguk dan mulai berjalan di belakang dokter.
  "LIHAT SEMUA INI!! Semua gara-gara KAU!!!" bentak Desi kepada Rara.
  "Kenapa aku? Bukankah sudah ada yang mengatur semua ini? Jadi bukan seratus persen salahku kan?"
  "Sudahlah teman-teman, kita hanya bisa berdo'a. Lebih baik kita masuk untuk menengok Dina"
       Mereka membuka pintu dengan perlahan. Tampak oksigen yang dipasangkan di hidungnya dan dia belum juga sadar. Sepertinya dia semakin parah.
  "Din, cepatlah bangun! Aku nggak sanggup lihat kamu terbaring disini! Kumohon!" tangis Desi.
  "Din, sebelumnya aku minta maaf jika aku pernah berbuat salah. Tapi aku juga mohon, kau bangunlah, Din!". Rara hanya terdiam. Padahal hatinya ingin mengatakan sesuatu.
       Waktu terus berjalan. Tante Mira kembali ke ruangan Dina terbaring. Katanya, Paru-parunya ada yang bocor dan harus segera dioperasi. Tangis mereka samakin tak terbendung. Kecuali Rara.
  "Hhhmm... Tante! Saya minta izin mau pulang! Saya harus membantu ibu" tutur Rara. Tante Mira hanya mengakngguk karena tak kuasa menahan air matanya.
       Rara terhenti di kantin rumah sakit itu. Sebenarnya, ia tak mau pulang. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Dina. Tapi dia harus menunggu waktu yang tepat. Tapi tak tersa hari semakin gelap. Rara terpaksa pulang. Begitu pun Desi dan Rani.
       Pada saat akan tidur, Rara teringat Dina. Dia masih ingin bertemu dengannya. Akhirnya dia memutuskan menyelinap untuk menjenguk Dina. Setelah sampai, dia berusaha mencari waktu agar Tante Mira tidak tahu. Setelah beberapa menit, akhirnya Rara menemukan celah. dia bisa masuk saat Tante Mira pergi ke musholah. Dia mengatakan semua yang ada di hatinya bahkan sampai menitikkan air mata.
  "Din, aku tahu aku penyebab semua ini! Tapi aku mohon maafkanlah aku. Sebenarnya aku ingin menerimamu. Tapi entah kenapa aku masih belum ingin...". Tiba-tiba Dina sadarkan diri.
  "Kamu udah bangun, Din?! Maafin aku ya, Din. Aku tahu aku salah. Sebagai gantinya terima ini! Ini uang untuk biaya operasimu. Aku ambil ini dari tabunganku dan ini surat untukmu. Maaf sekali aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku harus pulang. Sampai besok ya! Lekas sembuh!"
         Saat akan pergi, Dina menarik tangan Rara. Dia tak ingin Rara pergi. Rara tak sanggup melihat ini semua. Dia melepaskan genggaman Dina, meski harus menitikkan air mata.
        Esoknya, Dina akan menjalani operasi. Berkat Rara yang telah membantunya. Meski Tante Mira tidak mengetahui pengirimnya. Tapi beliau tahu kalau pengirimnya orang baik-baik.
       Meski telah membaik, tapi kondisi tubuhnya msih lemah. Rani dan Desi begitu senang. Tapi mereka masih heran. Siapa yang mengirimkan uang itu? Mereka tak begitu peduli. Hari ini Dina sudah boleh pulang. Jadi mereka akan buat pesta selamat datang untuk Dina. Teman sekelas juga ikut membantu, kecuali Rara. Dia tidak mau ikut.

Singkat cerita,,,,

Setelah pesta selesai, semua anak pulang ke rumah masing-masing kecuali Rani dan Desi. Mereka membantu membereskan semuanya. Saat dua anak itu beres-beres, tiba-tiba Dina mendapat sebuah pesan dari seseorang agar dia datang ke taman depan rumahnya. Dia pun berjalan keluar tanpa sepengetahuan Ibunya maupun Sahabat-sahabatnya.
  "Hai, Dina! Apa kabar?"
  "Baik. Ada apa kamu memanggilku?"tanya Dina.
  "Aku cuma mau bilang. Kalau aku...."
  "Aku apa?"
  "Aku mau jadi sahabatmu, Din..". Mendengar itu Dina berkaca-kaca dan memeluk Rara. Rani dan Desi yang melihat itu ikut terharu. Mereka menghampiri Rara dan Dina, dan akhirnya mereka berempat berpelukan bersama,,,

So Sweet,,, ^_^
SELESAI,,,